GEJALA BAHASA (Tugas Makalah Bahasa Indonesia)
GEJALA BAHASA
(Tugas Makalah Bahasa Indonesia)
Oleh :
Dyah Isworo 1314071017
Hendri Setiawan 1314071028
Japen H Sigiro 1314071030
Kelompok VIII

JURUSAN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan kepata Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat-Nya
makalah ini dapat disusun dan dimanfaatkan untuk membantu pembaca. Adapun hal
yang dapat disusunnya makalah ini adalah supaya kita mengerti akan perubahan
dari bahasa kita yang terjadi sekarang sekaligus menjadi bahan memotivasi kita
dalam memperbaiki bahasa yang kita gunakan pada zaman sekarang menjadi bahasa
yang sesuai dengan kaidah bahasa indonesia yang benar.
Pada
makalah ini juga dijelaskan faktor apa saja yang menjadi gejala perubahan
bahasa indonesia saat ini dan fenomena tentang bahasa gaul dan bahasa alay yang
sangat populer dikalangan remaja saat ini.
Semoga
dengan penyusunan makalah ini, pembaca dapat mengerti tentang gejala bahasa
indonesia dan membentuk bahasa yang sesuai dengan kaidah yang sebenarnya. Kami
penyusun makalah ini juga meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penyusunan
makalah ini. Kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang baik demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua
terlebih untuk keharuman bahasa negara kita ini.
Bandar
Lampung, 21 Mei 2014
Kelompok VIII
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ..................................................................... ii
DAFTAR
ISI ................................................................................. iii
I.
PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar
Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah ..................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan ..................................................................... 2
D. Manfaat
Penulisan ..................................................................... 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3
A. Pengartian ................................................................................. 3
B. Gejala
Bahasa ..................................................................... 5
C. Gejala
dalam Interferensi Bahasa ............................................. 6
D. Penghilangan
Fonem ..................................................................... 7
a) Afaresis ................................................................................. 8
b) Sinkop ................................................................................. 8
c) Apokop ................................................................................. 8
E. Penambahan
Fonem ..................................................................... 8
a) Protesis ................................................................................. 8
b) Epentasis ................................................................................. 8
c) Paragog ................................................................................. 9
F. Gejala
Metasis Bahasa ......................................................... 9
G. Gejala
Adaptasi Bahasa ......................................................... 9
H. Fenomena
Bahasa Alay dan Gaul ............................................. 9
a) Bahasa
Alay ..................................................................... 9
b) Bahasa
Gaul ..................................................................... 12
III.
SIMPULAN ................................................................................. 15
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................... 16
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya bahwa bahasa memiliki peran penting dalam
kehidupan manusia. Smarapradhipa (2005:1), memberikan dua pengertian bahasa.
Pengertian menyatakan bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat
berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Kedua, bahasa
adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang
bersifat abriter. Dari pengertian tersebut terdapat gejala dalam bahasa.
Sebelumnya gejala bahasa merupakan peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan
kata atau kalimat dengan segala proses pembentukannya (Badudu, 1985:45).
Belum
selesai masalah tentang gejala bahasa, muncullah fenomena tentang bahasa gaul
dan bahasa alay. Semakin berkembangnya zaman seperti yang kita ketahui semakin
banyak perubahan yang bahasa yang terjadi. Didalam makalah ini kami menjelaskan
tentang gejala bahasa dan fenomena bahasa gaul dan alay tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, didapat rumusan masalah sebagai berikut :
a) Mengapa
dalam kehidupan ini terjadi perubahan bahasa dalam lingkungan sekitar?
b) Masalah
apa yang sering terjadi dengan adanya gejala bahasa saat ini?
c) Bagaimana
cara kita mengatasi gejala bahasa tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari masalah ini adalah :
a) Mengetahui
pengertian gejala bahasa, bahasa alay dan bahasa gaul.
b) Menjelaskan
tentang masalah yang terjadi dengan adanya gejala bahasa.
c) Mengetahui
cara mengantisipasi dampak gejala bahasa, bahasa gaul dan bahasa alay.
D. Manfaat penulisan
Manfaat
dari penulisan ini adalah agar semua tahu dampak positif dan negatif dari
gejala bahasa, bahasa alay dan bahasa gaul. Dan bagaimana dampaknya terhadap
masa depan generasi muda Indonesia.
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Gejala
bahasa ialah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat
dengan segala proses pembentukannya (Badudu, 1985:47). Beberapa gejala bahasa
ternyata banyak ditemukan di dalam bahasa gaul yang digunakan remaja-remaja
yaitu berupa penghilangan fonem (afaresis, sinkop, apokop), penambahan fonem
(efentesis, paragog), metasis, gejala adaptasi, akronim, singkatan.
Penutur
bahasa yang heterogen membuat bahasa menjadi beragam dan bervariasi. Bahasa
akan terus berkembang dan bervariasi seiring perkembangan zaman. Terjadinya
keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para
penuturnya yang tidak homogen tetapi perbedaan pekerjaan, profesi, jabatan atau
tugas para penutur pun dapat menyebabkan adanya variasi bahasa. Variasi atau
ragam bahasa itu dapat dibedakan berdasarkan penutur dan penggunaannya. Dari
segi penutur, ragam bahasa dapat dibagi atas idiolek, dialek, kronolek, dan
sosiolek. Idiolek merupakan variasi
bahasa yang bersifat perseorangan yang berkenaan dengan warna suara, pilihan
kata, gaya bahasa, dan sebagainya. Dialek
merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang
berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu.
Kronolek
merupakan variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok sosial pada masa
tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia yang digunakan pada tahun lima
puluhan berbeda dengan variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada
masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia yang digunakan pada lima
puluhan tahun berbeda dengan variasi bahasa yang digunakan pada masa kini. Sosiolek merupakan variasi bahasa yang
berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial penuturnya. Sosiolek
terbagi atas beberapa bagian, yakni akrolek, basilek, vulgar, kolokial, jargon,
dan slang (Chaer dan Agustina, 1995:80).
Slang
merupakan bagian dari sosiolek. Slang adalah ragam bahasa tidak resmi yang
dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi
intern sebagai usaha supaya orang lain atau kelompok lain tidak mengerti berupa
kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah (Kridalaksana, 1984:281).
Ada
asumsi penting di dalam sosiolinguistik yang menyatakan bahwa bahasa itu tidak
pernah monolitik keberadaannya (Bell, 1975). Bahasa selalu mempunyai ragam atau
variasi. Asumsi itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik memandang
masyarakat yang dikajinya sebagai masyarakat yang beragam setidak-tidaknya
dalam hal penggunaan bahasa. Adanya fenomena panggunaan variasi bahasa dalam
masyarakat tutur dikontrol oleh faktor-faktor sosial, budaya, dan situasional
(Kartomihardjo 1981; Fasold 1984; Hudson 1996).
Pemilihan
bahasa (language choice) dalam
masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dalam
perspektif sosiolinguistik. Bahkan Fasold (1984: 180) mengemukakan bahwa
sosiolinguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pilihan bahasa. Fasold
memberikan ilustrasi dengan istilah societal
multilingualism yang yang mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam
masyarakat. Tidaklah ada bab tentang diglosia apabila tidak ada variasi tinggi
dan rendah. Pada kenyataannya setiap bab dari buku sosiolinguistik karya Fasold
(1984) memusatkan pada paparan tentang kemungkinan adanya pilihan bahasa yang
dilakukan masyarakat terhadap penggunaan variasi bahasa. Statistik sekalipun
menurut Fasold tidak akan diperlukan dalam sosiolinguistikapabila tidak ada
variasi penggunaan bahasa dan pilihan di antara variasi-variasi tersebut.
Dalam
pemilihan bahasa terdapat tiga kategori pilihan . Pertama, dengan memilih satu
variasi dari bahasa yang sama (intra
language variation). Apabila seorang penutur bJ berbicara kepada orang lain
dengan menggunakan bJ kromo, misalnya, maka ia telah melakukan pilihan bahasa
kategori pertama ini. Kedua, dengan melakukan alih kode (code switching), artinya menggunakan satu bahasa pada satu
keperluan dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain dalam satu
peristiwa komunikasi. Ketiga, dengan melakukan campur kode (code mixing) artinya menggunakan satu
bahasa tertentu dengan bercampur serpihan-serpihan dari bahasa lain.
Peristiwa
perlaihan bahasa atau alih kode dapat terjadi karena beberapa faktor. Reyfield
(1970: 54-58) berdasarkan studinya terhadap masyarakat dwibahasa Yahudi-Inggris
di Amerika mengemukakan dua faktor utama, yakni respon penutur terhadap situasi
tutur dan faktor retoris. Faktor pertama menyangkut situasi seperti kehadiran
orang ketiga dalam peristiwa tutur yang sedang berlangsung dan perubahan topik
pembicaraan. Faktor kedua menyangkut penekanan kata-kata tertentu atau
penghindaran terhadap kata-kata yang tabu. Menurut B;om dan Gumperz (1972:
408-409) terdapat dua macam alih kode , yaitu (1) alih kode situasional (situational switching) dan (2) alih kode
metaforis. Alih kode yang pertama terjadi karena perubahan situasi dan alih
kode yang kedua terjadi karena bahasa atau ragam bahasa yang dipakai merupakan
metafora yang melambangkan identitas penutur.
Campur
kode (code mixing) merupakan
peristiwa pencampuran dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu
peristiwa tutur. Di dalam masyarakat tutur jawa yang diteliti ini juga terdapat
gejala ini. Gejala seperti ini cenderung mendekati pengertian yang dikemukakan
oleh Haugen (1972: 79-80) sebagai bahasa campuran (mixture of language), yaitu pemakaian satu kata, ungkapan, atau
frase. Di Filipina menurut Sibayan dan Segovia (1980: 1130 disebut mix-mix atau halu-halu atau taglish
untuk pemakaian bahasa campuran antara bahasa tagalog dan bahasa Inggris. Di
Indonesia, Nababan (1978: 7) menyebutkan dengan istilah bahasa gado-gado untuk pemakaian bahasa
campuran antara bl dan bahasa daerah.
Kajian
pemilihan bahasa menurut Fasold (1984: 183) dapat dilakukan berdasarkan tiga
pendekatan, yaitu pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan
pendekatan antropologi. Pendekatan sosiologi berkaitan dengan analisis ranah.
Pendekatan ini pertama dikemukakan oleh Fishman (19640. Pendekatan sosiologi
sosial lebih tertarik pada proses psikologi manusia daripada kategori dalam
masyarakat luas. Pendekatan antropologi tertarik dengan bagaimana seorang
penutur berhubungan dengan struktur masyarakat.
B. Gejala Bahasa
Gejala
bahasa banyak terjadi di masyarakat. Gejala bahasa bisa berupa penambahan
ataupun pengurangan pada fonem ataupun morfem.
Bahasa
nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam
hubungan dengan variasi kebahasaan. Sebagai contoh adanya masyarakat bahasa di
Indonesia. Setiap hari mahasiswa yang
berasal dari masyarakat tutur bahasa jawa dan mahasiswa dari masyarakat tutur
bahasa Batak sama-sama kuliah di Semarang. Dalam berinteraksi dengan sesamanya,
mereka menggunakan bahasa Indonesia. Jadi, meskipun mereka berbahasa ibu yang
berbeda, mereka tetap pendukung masyarakat tutur bahasa Indonesia. Dalam hal
ini, memang tidak terlepas dari fungsi ganda bahasa Indonesia: sebagai bahasa
nasional, bahasa negara, dan bahasa persatuan.
C. Gejala dalam
Interferensi Bahasa
Hubungan
yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini
dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari.
Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya
ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu
dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah
yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia.
Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pemakaian bahasa yang pertama. Kebiasaan untuk memakai
kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam
ini dapat menimbulkan interferensi.
Interferensi
secara umum dapat diartikan sebagai percampuran dalam bidang bahasa.
Percampuran yang dimaksud adalah percampuran dua bahasa atau saling pengaruh
antara kedua bahasa. Hal ini dikemukakan oleh Poerwadarminto dalam Pramudya
(2006: 27) yang menyatakan bahwa interferensi berasal dari bahasa inggris interference yang berarti percampuran,
pelanggaran, rintangan. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh
Weinreich (1968: 1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa
lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah
penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur
multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara
bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai
kemampuannya dalam berbahasa lain.
Weinreich
(1968: 1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan
penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa
karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan
bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Di
dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan
karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun
dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.
Poedjosoedarmo
(1989: 53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat
kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata
dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain interferensi
adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya elemen-elemen
asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis,
sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata
(leksikal).
Dalam
proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap
atau bahasa resipien, dan unsur serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu
peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang
lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa
umum dalam kontak bahasa.
D. Penghilangan Fonem
Sebagaimana
diuraikan di atas bahwa gejala bahasa dapat terjadi, berupa penambahan,
pengurangan pada fonem maupun morfem.
1)
Afaresis
Afaresis
adalah penghilangan fonem pada awal kata (Badudu, 1985:64). Contoh:umudik
menjadi mudik, stani
(Sansekerta) menjadi tani. Adapun
contoh gejala afaresis dalam bahasa gaul umum, seperti:emang dari memang, aja dari saja, dan naruh dari menaruh.
2)
Sinkop
Sinkop
adalah proses penghilangan fonem ditengah kata. Contoh gejala sinkop, seperti:bahasa
menjadi basa, sahaya menjadi saya, dan gemericik menjadi gemercik. Adapun contoh gejala sinkop
dalam bahasa gaul umum, seperti:asik dari asyik, sodara dari saudara,
b’lom dari belum, dan sapa
dari siapa.
3)
Apokop
Apokop
yaitu proses penghilangan fonem pada akhir kata. Contoh gejala apokop, seperti:import
menjadi impor dan eksport
menjadi ekspor. Adapun contoh gejala
apokop dalam bahasa gaul umum, seperti:kalo dari kalau, pake dari pakai,
dan minim dari minimum.
E. Penambahan Fonem
Selain
penghilangan fonem, terjadi pula penambahan fonem dalam kata. Beberpa bentuk
gejala bahasa (penambahan fonem) dinamakan protesis, epentesis, dan paragog.
1). Protesis
Protesis
yaitu peristiwa penambahan fonem diawal kata. Contoh gejala protesis menurut,
seperti:mas menjadi emas dan stri
(Sansekerta) menjadi istri.
2). Epentasis
Epentesis
yaitu peristiwa penambahan fonem ditengah kata. Contoh gejala epentesis
menurut, seperti: kapak menjadi kampak,
sajak menjadi sanjak, dan peduli
menjadi perduli.
3). Paragog
Paragog
adalah peristiwa penambahan fonem diakhir kata. Contoh gejala paragog, seperti:
hulubala menjadi hulubalang, ina
menjadi inang, dan sila
menjadi silah (pada kata
dipersilahkan).
F. Gejala Metasis
Bahasa
Gejala
metasi adalah gejala yang memperlihatkan pertukaran tempat satu atau beberapa
fonem. Contoh gejala metasis, seperti:sapu menjadi usap, lekuk
menjadi keluk, dan berantas menjadi banteras.
G. Gejala Adaptasi
Bahasa
Adaptasi
artinya penyesuaian. Kata-kata serapan yang diambil dari bahasa asing berubah
bunyinya sesuai dengan pendengaran atau ucapan orang Indonesia. Beberapa contoh
adaptasi bahasa asing (Inggris) menjadi bahasa gaul, seperti:merit dari married, plis dari please, akting dari acting, dan hepi dari happy.
Gejala
hiperkorek merupakan gejala pembentukan kata yang menunjukkan sesuatu yang
salah, baik ucapan maupun ejaan (tulisan). Contoh gejala hiperkorek, seperti:zaman
menjadi jaman, izin menjadi ijin, dan ijazah menjadi izazah.
H. Fenomena Bahasa Alay
dan Gaul
1) Bahasa Alay
Kata ‘Alay’ bisa diartikan sebagai Anak layangan, Anak
lebay, Anak kelayapan, dan lain sebagainya. Dimana anak-anak tersebut sering
didefinisikan sebagai anak-anak yang berkelakuan ‘tidak biasa’ atau dapat
dikatakan berlebihan. Anak-anak ini ingin diketahui statusnya diantara
teman-teman sejawatnya, mereka ingin selalu memperlihatkan ke-eksis-an atau
kenarsisan mereka dalam segala hal. Misalnya dalam hal berpakaian, bertingkah
laku, serta berbahasa (baik lisan maupun tulis). Sesuai dengan pengertian
tersebut, maka dapat diketahui bahwa bahasa alay adalah bahasa yang digunakan
oleh anak-anak alay (Hanuem, 2012).
Menurut Sahala Saragih, dosen Fakultas Jurnalistik,
Universitas Padjajaran, bahasa alay merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku
dalam komunitas mereka. Penggunaan bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika
digunakan dalam komunikasi massa atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis.
Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa ‘diakronik’. Yaitu
bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan
berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak
hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau
mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup
dan berkembang karena fenomena sosial (Hanuem,2012).
b) Karasteristik
Bahasa Alay
Seiring dengan semakin banyaknya penggunaan bahasa
alay pada kalangan remaja, variasi atau karasteristiknya pun semakin beragam.
Antara lain:
a. Pemakaian
huruf besar kecil yang berantakan dalam satu kalimat,
contohnya:
“kaMu Lagi nGapaiN?”
b.
Penggunaan angka sebagai pengganti
huruf,
contohnya:
“k4mu L49i n94p4in?”
c.
Penambahan atau pengurangan
huruf-huruf dalam satu kalimat,
contohnya:
“amue agie ngapaein?”
d.
Menambahkan atau mengganti salah
satu huruf dalam kalimat,
contohnya:
“xmoe agie ngaps?”
e.
Penggunaan simbol-simbol dalam
kalimat,
contohnya:
“k@mu L@g! nG@p@!n?”
Contoh-contoh tersebut masih sangat sedikit, itu
artinya masih banyak lagi variasi-variasi atau karasteristik penggunaan bahasa
alay di kalangan remaja saat ini. Karasteristik tersebut juga tidak dapat
diketahui dan dijelaskan secara pasti karena kata-kata dalam bahasa alay itu
sendiri tidak mempunyai standar yang pasti, hanya disesuaikan oleh mood atau
teknik penulisan si pembuat kalimat (Hanuem, 2012).
c) Awal Mula Penggunaan Bahasa Alay
Dengan semakin berkembangnya teknologi, terutama
berkembangnya situs jejaring sosial, seperti facebook dan twitter. Pada tahun
2008, muncul suatu bahasa baru dikalangan remaja, yang disebut dengan bahasa
“Alay”. Kemunculannya dapat dikatakan fenomenal, karena cukup menyita
perhatian. Bahasa baru ini seolah menggeser penggunaan bahasa Indonesia
dikalangan segelintir remaja. Mereka lebih tertarik untuk mengunakan bahasa
alay yang dapat digunakan sesuai keinginan mereka daripada menggunakan bahasa
Indonesia yang kaku dan baku (Hanuem, 2012).
Namun jika diteliti lebih lanjut, penggunaan bahasa
alay ini sudah ada jauh sebelum bahasa alay berkembang di facebook maupun
twitter, yaitu ditandai dengan maraknya penggunaan singkatan dalam mengirim
pesan pendek atau SMS (short message service). Hanya saja pada saat itu belum disebut
dengan bahasa alay. Selain itu ada banyak tambahan variasi yang menyebabkan
bahasa tersebut kemudian disebut dengan bahasa alay. Misalnya dalam
bentuk SMS biasa, “km lg ngapa?” yang maksudnya adalah “kamu lagi ngapain?”,
dan dalam bentuk SMS alay menjadi, “xm Gy nGaps?”. Tujuan awalnya adalah sama
yaitu untuk mengirimkan pesan yang singkat, padat, dan dapat menekan biaya
(Hanuem, 2012).
d) Perkembangan
Bahasa Alay
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa bahasa
alay sudah mulai berkembang pesat seiring dengan berkembangnya teknologi. Yang
sebelumnya hanya digunakan oleh kalangan tertentu, sekarang bahasa alay sudah
dapat digunakan oleh berbagai kalangan, tak terkecuali anak-anak. Yang semula
hanya digunakan dalam bentuk tulisan, sekarang bahasa alay sudah banyak
ditemukan dalam bentuk lisan. Bagaimana caranya? Banyak cara yang digunakan
untuk berbahasa alay dalam bentuk lisan, salah satunya yaitu dengan
memonyongkan bibir atau mendesah mengikuti kata-kata yang mereka
ucapkan(Hanuem, 2012).
Bagi mereka yang sudah terbiasa dan menyukai kebiasaan
mereka berbahasa alay, hal tersebut merupakan kesenangan dan kebanggaan
tersendiri. Mereka menginginkan untuk menjadi yang paling ‘keren’ dari
teman-temannya. Mereka menganggap bahwa bahasa alay merupakan bentuk
kreativitas yang harus mereka kembangkan untuk mencapai sebuah kepuasan dan
untuk mendapatkan pujian dari teman-temannya. Namun dalam pandangan orang
lain yang tidak terbiasa mendengar atau menggunakan bahasa alay, hal tersebut
justru sangat ‘norak’ dan kampungan. Mereka tidak mau menerima adanya bahasa
alay karena mereka terganggu dan menganggap bahasa alay adalah bahasa yang
sangat sulit untuk dipahamai serta tidak mudah dimengerti(Hanuem, 2012).
2) Bahasa Gaul
a) Asal mula bahasa
gaul
Bahasa
gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta
pada tahun 1980-an. Ragam ini semula diperkenalkan oleh generasi muda yang
mengambilnya dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lain
(Chompik, 2012).
b) Struktur bahasa gaul
Ragam
bahasa gaul remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata
yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan
diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih
pendek seperti “memang menjadi emang”.Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan
berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk
membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai
kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek,
pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan
penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya.
-Pengunaan
awalan e
Kata
emang itu bentukan dari kata memang yang disispi bunyi e. Disini jelas terjadi
pemendekan kata berupa mengilangkan huruf depan (m). Sehingga terjadi perbedaan
saat melafalkan kata tersebut dan merancu dari kata aslinya.
-Kombinasi
k, a, g
Kata
kagak bentukan dari kata tidak yang bunyinya tid diganti kag. Huruf konsonan
pada kata pertama diganti dengan k huruf vocal i diganti a. Huruf konsonan
kedua diganti g. sehingga kata tidak menjadi kagak.
-Sisipan
e
Kata
temen merupakan bentukan dari kata teman yang huruf vokal a menjadi e. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perbedaan pelafalan (Chompik, 2012).
c) Pengaruh Bahasa Gaul
Terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia
Bahasa
gaul dapat timbul dimana saja. Bahasa yang digunakan oleh anak muda pada
umumnya ini muncul dari kreativitas mengolah kata baku dalam bahasa Indonesia
menjadi kata yang tidak baku. Bahasa gaul kita dapati dimana saja, karena
bahasa gul dapat timbul di iklan tevisi, lirik lagu remaja, Novel remaja dan
banyak lagi. Inilah kenyataan bahwa tumbuhnya bahasa gaul ditengah eksistensi
bahasa Indonesia tidak dapat dihindari ini karena pengaruh perkembangan alat
komunikasi yang terus berkembang dan karena bahasa gaul dipakai anak muda
kebanyakan maka bahasa baku akan tergeser eksistensinya (Chompik, 2012).
d) Dampak Pengaruh
Bahasa Gaul
Gejala
bahasa yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia
dianggap sebagai penyimpangan terhadap bahasa. Kurangnya kesadaran untuk
mencintai bahasa di negeri sendiri berdampak pada tergilasnya atau lunturnya
bahasa Indonesia dalam pemakaiannya dalam masyarakat terutama dikalangan
remaja.
Apalagi dengan maraknya dunia kalangan artis menggunakan bahasa gaul di media massa dan elektronik, membuat remaja semakin sering menirukannya di kehidupan sehari-hari hal ini sudah menjadi wajar karena remaja suka meniru hal-hal yang baru. Inilah yang menjadi awal lunturnya bahasa Indonesia yang baik dan berganti dengan bahasa gaul (Chompik, 2012).
Apalagi dengan maraknya dunia kalangan artis menggunakan bahasa gaul di media massa dan elektronik, membuat remaja semakin sering menirukannya di kehidupan sehari-hari hal ini sudah menjadi wajar karena remaja suka meniru hal-hal yang baru. Inilah yang menjadi awal lunturnya bahasa Indonesia yang baik dan berganti dengan bahasa gaul (Chompik, 2012).
III SIMPULAN
Dari
permasalahan yang telah dibahas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Gejala
bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentukan-bentukan kata atau kalimat
dengan segala proses pembentukannya.
2. Dari
segi penutur, ragam bahasa dapat dibagi
atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek.
3. Bahasa alay
merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas mereka. Penggunaan
bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika digunakan dalam komunikasi massa
atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis.
4. Bahasa
gaul adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta
pada tahun 1980-an.
5. Gejala
bahasa yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia
dianggap sebagai penyimpangan terhadap bahasa.
6. Bahasa
yang digunakan oleh anak muda pada umumnya ini muncul dari kreativitas mengolah
kata baku dalam bahasa Indonesia menjadi kata yang tidak baku.
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, Edi.2011.Membina, Memelihara, dan Menggunakan Bahasa Indonesia Secara benar.Yogyakarta:Ardana
Media.
http://hanuem.blogspot.com/2012/03/v-behaviorurldefaultvmlo.html Diakses pada 20 Mei 2014 pukul 09:30 WIB.
http://chompik.blogspot.com/2012/09/contoh-makalah-pengaruh-bahasa-gaul.htmlDiakses pada 20 Mei 2014 pukul 09:30 WIB.
bahasa adalah sarana berkomunikasi
ReplyDelete