Penambangan Pasir di Kawasan Sekitar Perairan Gunung Anak Krakatau
Penambangan
Pasir Ilegal di Sekitar Perairan Gunung Anak Krakatau
1. Pendahuluan
a. Sumber Berita
Pemerintah
Provinsi (Pemprov) menyatakan kegiatan penambangan pasir di kawasan Gunung Anak
Krakatau (GAK) adalah penambangan ilegal. Asisten Bidang Ekonomi dan
Pembangunan Taufik Hidayat mengatakan, hanya ada satu perusahaan yang
mengantongi izin untuk melakukan aktifitas penambangan pasir di sekitaran
kawasan GAK. Untuk itu, Taufik Hidayat memastikan, Pemprov Lampung ke depan
akan terus melakukan pengawasan dengan berkoordinasi bersama Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Bengkulu dan Lampung dan Kantor Syahbandar, dan Otoritas
Pelabuhan (KSOP) Kelas IV Bakauheni, guna memastikan tak ada lagi aktivitas
penambangan pasir (Tribun Lampung, 24 November 2019).
Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Lampung akan melaporkan kapal yang diduga
melakukan penambangan pasir di sekitaran Gunung Anak Krakatau (GAK) ke Polda
Lampung. Menurut Irfan Tri Musri Direktur Walhi Lampung, tidak ada perusahaan
manapun yang boleh melakukan penambangan pasir di kawasan GAK. Sebab, lanjut
Irfan Tri Musri, izin-izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Lampung kepada para pengusaha telah dinyatakan batal dan cacat hokum (Tribun
Lampung, 24 November 2019).
"Masyarakat
Pulau Sebesi dan himpunan masyarakat adat menolak dengan tegas adanya aktivitas
penyedotan pasir hitam di Selat Sunda sekitar GAK dan Pulau Sebesi, karena akan
berdampak ke masyarakat sekitar," tegas Taufik. Salah satu dampaknya, kata
Taufik, sudah pernah dirasakan sebagian masyarakat di beberapa desa khususnya
di Kecamatan Rajabasa yang terkena bencana tsunami akibat patahan atau
longsoran GAK pada 22 Desember 2018 lalu (Tribun Lampung, 24 November 2019).
b. Kajian Berita
Berdasarkan
isu lingkungan di atas, penambangan pasir di kawasan perairan Gunung Anak
Krakatau sudah berlangsung lama. Kegiatan penambangan pasir dilakukan oleh
pihak yang memiliki izin maupun illegal. Mengingat Kawasan Gunung Anak Krakatau
adalah sebagai Cagar Budaya yang harus dilestarikan, sudah semestinya
pemerintah daerah maupun pusat harus memilah kegiatan apa saja yang
diperbolehkan dikawasan cagar budaya sehingga dampaknya tidak akan buruk.
Jika
kita kaji lebih mendalam apa yang akan ditimbulkan dari pengerukan pasir di
dasar laut yaitu dapar merusak ekosistem yang ada di dasar laut. Selain itu,
jika it uterus dilakukan maka akan berdampak juga terhadap pencemaran air laut
dan abrasi pantai juga. Oleh karena itu perlu dilakukan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan yang akan ditimbulkan.
2.
Pembahasan
Telah
dilakukan penambangan pasir di kawasan Cagar Budaya Gunung Anak Krakatau.
Sejumlah dampak yang sudah dirasakan masyarakat Pulau Sebesi akibat penambangan
tersebut yaitu longsornya pesisir Gunung Anak Krakatau dan abrasi pantai di
Pulau Sebesi. Masyarakat merasa resah dengan adanya penambangan pasir tersebut
karena pada 2019 lalu telah terjadi Tsunami di Pulau Sebesi dan di Kecamatan
Rajabasa Lampung Selatan salah satunya adalah dampak dari penambangan pasir
tersebut. Selain karena faktor letusan, kegiatan penambangan tersebut membuat
Gunung Anak Krakatau Longsor dan menimbulkan gelombang tsunami di pesisir
Kecamatan Rajabasa dan di Pulau Sebesi.
Kegiatan
Penambang Pasir Sudah dilakukan oleh PT Lautan Indah Persada (LIP) sejak tahun
2015. Dikutip dari Republika “Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menyatakan, Izin
Usaha Pertambangan (IUP) PT Lautan Indah Persada (LIP) di perairan Selat Sunda
dekat Gunung Anak Krakatau (GAK) akan berakhir 26 Maret 2020. Selama menunggu
waktu tersebut, tidak ada penambangan pasir di wilayah GAK selama lima tahun ke
depan. Arinal tetap berkomitmen tidak memperpanjang IUP PT LIP untuk menambang
pasir hitam di wilayah perairan GAK setelah masa izin tersebut berakhir pada 26
Maret 2020. Dia memahami keinginan dan tuntutan masyarakat terkait dengan
beroperasinya PT LIP di sekitar GAK yang membuat trauma warga kembali
pascatsunami akhir tahun 2018” (Republika, 10 Februari 2020).
Kegiatan
penambangan atau pengerukan pasir di laut yang dekat pesisir pulau dan wilayah
cagar budaya merupakan aktifitas yang berdampak langsung terhadap lingkungan
yang seharusnya dilarang. Kegiatan tersebut melanggar Undang-undang No. 1 Tahun
2014 Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Undang-undang
No. 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta
Peraturan Daerah Provinsi Lampung No. 1 Tahun 2018 Tentang rencana zonasi
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pelanggaran penambangan pasir berdampak
langsung kepada keruhnya air laut karena proses pengerukan. Hilangnya sebagian
ekosistem bawah laut seperti terumbu karang akan berdampak pada kehidupan ikan.
Dampak social yang dirasakan oleh masyarakat yaitu hilangnya sumber mata
pencaharian sebagai nelayan.
Terkait
pemberian izin PT LIP sejak tahun 2015 oleh pemerintah pusat seharusnya
pemerintah mengkaji lebih dalam apa yang akan ditimbulkan dari kegiatan
pengerukan pasir tersebut. Peran serta masyarakat untuk mengawasi dan
melaporkan pelanggaran pada proses penambangan kepada pihak berwajib yaitu
kepolisian sangat dibutuhkan. Organisasi berbasis lingkungan harus terus
memantau dampak negatif terhadap lingkungan akibat penambangan tersebut
bekerjasama dengan masyarakat sebagai pihak yang merasakan langsung. Pemerintah
Provinsi Lampung dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Lampung harus
menindak tegas setiap pelanggaran yang berdampak kelingkungan baik itu di
Kawasan Cagar Budaya Gunung Anak Krakatau maupun di wilayah territorial
Provinsi Lampung lainnya.
Kegiatan
penambangan pasir dilakukan karena sumber pasir hitam yang tersedia di selat
sunda melimpah. Selain itu izin pertambangan yang didapat PT LIP yaitu
seharusnya berada 20 mil dari Gunung Anak Krakatau. Namun kenyataannya,
masyarakat sering mendapati PT LIP menambang pasir berada kurang dari 1 mil
dari Pulau Sebesi. Menimbang Peraturan yang ada tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdapat pada Undang-undang No. 1 Tahun 2014
bahwa “Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi
perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang
menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa
payau, dan laguna”. Oleh karena itu, kegiatan tersebut sangat melanggar peraturan
yang ada dan tentunya akan merusak sumberdaya alam di wilayah pesisir.
Mengingat beberapa hal di atas yang dapat
merusak lingkungan, perlu dilakukan penanganan oleh pihak terkait baik
Pemerintah Provinsi Lampung, BKSDA Provinsi Lampung, dan Masyarakat sekitar. Beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi maupun menindak pelanggaran
terhadap penambangan pasir laut yang memiliki dampak negatif bagi wilayah
pesisir yaitu :
- Pemerintah harus menindak tegas pelaku penambangan
pasir liar maupun illegal sesuai kriteria dan Undang-undang yang berlaku.
- Pihak BKSDA Provinsi Lampung harus melakukan
pengawasan rutin terhadap segala bentuk kegiatan yang berada di wilayah
perairan pesisir dalam bentuk patroli rutin.
- Pemberian izin penambangan harus disertai AMDAL
- Peran serta
masyarakat pesisir untuk melaporkan kepada pihak berwajib maupun pemerintah
provinsi terkait segala bentuk kegiatan penambangan yang berdampak negatif bagi
lingkungan.
3.
Penutup
Kegiatan penambangan pasir laut yang
dilakukan oleh PT LIP di kawasan Gunung Anak Krakatau memiliki dampak negatif
terhadap lingkungan yaitu abrasi pantai, rusaknya ekosistem laut, dan
pencemaran air laut. Perlu ditindaklajuti kegiatan semacam ini agar lingkungan
pesisir Gunung Anak Krakatau terjaga, dalam hal ini Pemerintah Provinsi
Lampung, BKSDA Provinsi Lampung, Masyarakat, Organisasi Berbasis Lingkungan,
Kepolisian memiliki peran sebagai pengawas dan Penindaklanjut. Kegiatan
penambangan pasir tersebut dilakukan karena potensi pasir hitam di selat sunda
sangat melimpah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menjaga agar
ekosistem di laut aman. Beberapa upaya tersebut antara lain melakukan
penindakan yang tegas terhadap pelanggaran, patrol rutin sebagai kegiatan
pengawasan, peran serta masrakat dan organisasi berbasis lingkungan sebagai
pengawas di lapangan.
4.
Referensi
Undang-undang
No. 1 Tahun 2014 Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Undang-undang
No. 32 Tahun 2009 Tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peraturan
Daerah Provinsi Lampung No. 1 Tahun 2018 Tentang rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
Pratama, A. K. 2019. “Pemprov Lampung Pastikan
Penambangan Pasir di Perairan GAK Ilegal”. Dalam Tribun Lampung, 24 November
2019. Bandar Lampung.
0 comments:
Post a Comment